Biarkan

by - September 15, 2020


Photo by  Azka Rayhansyah On Unsplash


Berbisik lirih di ujung malam. Ditemani diam. 
Perasaan kian berkecamuk setelah senja mulai menutup hari. Menggenggam serpihan, menahan kesedihan. 

“Kamu berubah, egois.” 

Kira-kira begitu, kekecewaan yang akan dilontarkannya kepadaku. Harapnya aku senantiasa setia, ditemani manis pikir menanti. Pikirnya aku baik-baik saja sepanjang bintang masih terang. Padahal rintihan panjang yang dikeluhkan hanya ditemani rembulan. Sisanya, kamu menghilang.
Suatu saat kamu datang. Aku biarkan. Kamu merasa terabaikan. 
Kamu tahu? Garis waktu selalu merangkak maju. Kita yang sama-sama sibuk sendiri, selalu punya alasan waktu habis dengan urusan kita masing-masing. Sama-sama ego, gengsi. Malas mengemis iba dari salah satunya — Gengsi akan dikesampingkan dengan satu pengecualian, “aku butuh bantuan”.
Tentu saja aku berkenan membantumu, kecuali perihal perasaan. Maaf aku tak bisa bantu kamu lagi. Sebab beberapa luka, membuatku ingin melangkah lebih jauh. Biarkan aku melepaskanmu. Biar malamku tak lagi sunyi, tak lagi begitu menyiksa sebab ia terselimuti luka.
Saat aku yang menyerah, mohon jangan berpikir aku yang merusak jalan ceritanya. Kamu tak bisa memaksa seseorang yang telah lelah menerka-nerka, sebab banyak hal yang kau sembunyikan sejak lama.
Untuk kali ini, maka biarkanlah. Biarkan aku memilih jalan. Memutuskan tujuan. Biarkan aku melanjutkan kehidupan.
(Biarkan, permainan peran “para pemeran”)

You May Also Like

0 komentar