Pertemuan di Bukit Senja
Pagi itu, pertama kali aku mengenalmu. Embun
yang jatuh dari daun itu, bersamaan pula denganku jatuh hati padamu. Dari
sebuah bukit yang terasing dari keramaian, disitulah aku pertama kali
mengagumimu dengan sederhana. Kita berjumpa hanya dua kali. Pertemuan pertama
dibukit yang hampir tak di kenali manusia, kita bercengkrama. Sedikit sepakat
membuka pikiran masing-masing dan mulai terbuka jiwa. Detik itulah aku
mengenalimu sosok yang sederhana namun penuh bijaksana. Kamu tak banyak bicara,
namun kau tahu bagaimana cara berlaku dengan bijaksana. Kamu memang tak
menyukai basa-basi, bahkan menyakiti diri karena jujur itu lebih baik daripada
menyukai karena bersembunyi dibalik ketidaksukaan. Orang lain pasti berasumsi
bahwa kau adalah orang yang tak berperasaan dan tak menghargai pada apa yang
telah orang lain korbankan. Ketegasanmu pada kebenaran dan keberanianmu menolak
kesalahan adalah sumber utamaku berani mengagumi mu dengan tanpa
pengecualian.
Di balik bukit itu, tentu saja tidak hanya kita
berdua. Ada mereka, orang-orang yang peduli dengan kehidupan yang terasingkan.
Bukannya menolak majunya zaman, hanya saja bertahan dengan tradisi nenek moyang
yang penuh nilai dan teguh dalam beragama patut kita lestarikan.
Sebenarnya aku mulai mengenal mereka, hanya karena
alasan aku sedang bosan dengan perjalanan kehidupan. Dengan hiruk pikuk
kehidupan kota, persaingan zaman, dan bebasnya pergaulan anak muda zaman
sekarang. Terkadang aku butuh sedikit pencerahan dan asupan pembelajaran dari
orang-orang yang sebelumnya belum pernah aku kenal. Mungkin ini masanya jiwa
muda ku mengembara. Dalam pencarian jati diri yang selama ini terus menerus
mempertanyakan akan sebuah pilihan hidup yang selalu dijadikan pijakan.
Pertemuan pertama, hanya mempertemukan kita selama
tiga hari. Kita saling bercengkrama dan kesudahannya kita sibuk dengan urusan
kita masing-masing. Awalnya aku menerima dengan biasa perlakuanmu
padaku yang hanya menganggap ku sama dengan orang lain. Namun, sejak kamu
menyapaku dibalik senja. Ada rasa yang berbeda. Tak bisa diuraikan menjadi
kata-kata. Ah wanita macam apa diriku ini. Bisa begitu saja terpikat pada
pandangan yang pertama. Ini alasan klasik bagiku untuk mengagumimu. Ya terlalu
klasik mungkin. Namun perjumpaan pertama ini, sangat memberi kesan yang
berbeda. Terlalu membuat hidupku menjadi lebih berwarna.
Perjumpaan pertama yang mampu membuatku sedikit
bahagia. Dan kamu sungguh mampu membuatku melupakan semua kekecewaanku pada
dunia. Saat kamu mulai menyapa di pagi itu. Aku mulai tak akrab lagi dengan
sang sepi karena benakku selalu di hinggapi bayangmu. Aku tak tahu, apa arti
resah ini. Resah mungkin terlalu sering dihinggapi bayangmu atau bahkan terlalu
sering dihantui rasa rindu.
Aku menjadi seorang pecandu rindu sejak kehadiranmu.
Aku tahu menjadi pecandu itu tidak baik. Apalagi menjadi seorang pecandu rindu,
itu sedikit menyiksa bagiku. Untungnya akhir-akhir ini Bandung sering hujan.
Jadi tanpa kamu minta, hujan telah menghapus kenangan itu saat mulai fajar
ciptakan. Aku tak tahu apakah setelah perjumpaan pertama akan ada perjumpaan
kedua, ketiga bahkan keempat kalinya. Entahlah. Kondisinya sekarang berbeda.
Jarak dan kenyataan yang memaksaku bertahan dengan dua pilihan, sabar atau
melepaskan. Yang jelas keduanya tak mengenakkan bagi seorang pecandu rindu dan
penikmat senja seperti aku.
Jika
harus berakhir dengan pengaguman tak terbalaskan. Salah seorang dari kita harus
mengikhlaskan pergi, dan melupakan. Kembali ke pengasingan untuk menetralisir
perasaan. Mungkin bagi sebagian orang ini mudah. Tinggal melangkah dan cari
orang yang tepat agar perasaan bisa cepat berubah. Namun, agak berbeda dengan
diriku. Aku harus mencari lebih banyak formula penyembuhan diri dan berupaya
untuk seakan semua terlihat baik-baik saja. Jika ini terasa berat, sadarlah.
Mungkin cerita ini hanya ingin Tuhan tunjukkan padaku bahwa, "kisah
antara kita hanyalah sebuah kisah yang ditakdirkan untuk dipertemukan bukan
untuk dipersatukan."
0 komentar